Mengenai Saya

Foto saya
Pekanbaru, Riau, Indonesia

Sabtu, 05 Februari 2011

Ke Mana Arah Sikap Militer Mesir?

Sikap wait and see militer Mesir memunculkan banyak pertanyaan, tetapi menggarisbawahi satu hal yaitu, perannya akan sangat menentukan terlepas dari bagaimana gejolak yang tengah berlangsung akan berakhir.
Para pengamat politik berupaya untuk menguraikan kelakuan militer yang seperti sphinx itu. Apakah militer terlibat dalam kebrutalan polisi? Apakah bijaksana dalam menghadapi situasi yang bergolak? Apakah terjadi perpecahan di level atas struktur komandonya? Atau apakah hanya menanti waktu (untuk bertindak)? Banyaknya pertanyaan berarti “ada banyak hal yang bermain dalam sistem dan militer,” kata seorang diplomat Barat yang tidak mau disebutkan namanya, sebagaimana dilansir AFP, Jumat (4/2/2011).
Jenderal bintang empat Mohamed Hussein Tantawi, menteri pertahanan yang juga wakil perdana menteri, secara pribadi menuju ke lokasi kerusuhan di alun-alun Tahrir, Jumat. Ia mengatakan, dirinya ingin “memeriksa situasi” secara langsung. Ia melakukan itu sehari setelah Laksamana AS, Mike Mullen, ketua kepala staf gabungan AS, mengatakan bahwa ia telah “diyakinkan” oleh petinggi militer Mesir bahwa tentara tidak akan melepaskan tembakan kepada para demonstran.
Dan dalam sebuah wawancara televisi dengan ABC News, Kamis, Wakil Presiden Omar Suleiman berkeras bahwa pemerintah Mesir tidak akan menggunakan tentara melawan orang-orangnya sendiri demi membubarkan protes anti-Mubarak. “Kami tidak akan menggunakan kekerasan apapun terhadap mereka,” katanya. “Kami akan meminta mereka untuk pulang tapi kami tidak akan memaksa mereka untuk pulang,” kata Suleiman.
Imad Gad dari Al-Ahram Center for Political and Strategic Studies di Kairo mengatakan militer, yang mendapat penghormatan tinggi di Mesir, ingin menjaga opsinya tetap terbuka dan siap menunggu. “Militer, -artinya para staf di markas besarnya, bukan badan intelijen- tidak ingin memberi kesan intervensi, karena militer ingin mengambil kekuasaan,” katanya. “Militer sedang menunggu untuk diminta  melakukannya, agar dapat berperan sebagai penyelamat.” Sejak penggulingan monarki pada tahun 1952, semua presiden Mesir -Mohamed Naguib, Gamal Abdel Nasser, Anwar al-Sadat dan Mubarak, seorang mantan panglima angkatan udara - berasal dari militer.
Militer menjadi tulang punggung yang setia dari sebuah rezim dan militer meraih respek dari warga Mesir karena netralitas tradisionalnya selama masa perlawanan rakyat dan peranan utamanya dalam perang Arab-Israel.
Namun Tewfik Aclimandos, seorang spesialis Mesir di College de France di Paris, melihat sejumlah potensi skenario. “Ini bisa menjadi perseteruan peran mengikuti model ‘polisi jahat, polisi baik’, dengan polisi dan antek-antek rezim menyerang demonstran sementara militer memberikan citra netralitas palsu,” katanya.
Ambivalensi militer bisa menjadi cerminan dari kebingungan para pemimpinya, tambah Aclimandos. “Meskipun para pemimpin puncak tidak ingin menghadapi penduduk, (tetapi mereka) juga tidak ingin menunjukkan pintu bagi presiden.” Atau, militer bisa saja hanya mencoba untuk “mengulur waktu” demi menegosiasikan jalan keluar terhormat bagi presiden tua Mubarak dan mengatur kondisi untuk transisi, kata Aclimandos.
Suleiman, seorang jenderal yang ditunjuk Mubarak pekan lalu sebagai wakil presiden untuk pertama kalinya, sangat disukai Amerika dan Israel, tetapi sebagai mantan kepala intelijen, ia merupakan orang dari era Mubarak. Kepala staf militer, Sami Annan, dalam kontak teratur dengan rekan-rekan AS-nya dalam beberapa hari ini, bisa saja muncul sebagai orang kuat. Ia bisa cocok dengan perdana menteri, Jenderal Ahmed Shafiq, mantan menteri penerbangan, yang meyakinkan baik bagi kalangan militer maupun bisnis.
Namun kunci arah sikap militer bisa jadi berada di tangan Washington dan bantuan militer senilai 1,3 miliar dollar AS-nya yang diberikan ke Mesir setiap tahun. Jumlah bantuan itu membuat Mesir sebagai penerima bantuan luar negeri AS terbesar kedua setelah Israel. Bantuan itu telah “membentuk suatu hubungan … yang kuat” antara AS dan militer Mesir, kata Mullen kepada ABC News, yang menggambarkan bantuan militer itu sebagai “sebuah investasi yang akan terbayarkan dalam jangka panjang”. (kompas.com, 5/2/2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar